White Shoes & The Couples Company



PERSONAL
White Shoes & The Couples Company adalah sebuah kelompok musik bergenre Pop Indonesia yang terbentuk pada tahun 2002 di sebuah kampus kesenian di Jakarta Pusat. Sepasang mahasiswa Seni Rupa, Aprilia Apsari (Sari) dan Yusmario Farabi (Rio), memutuskan untuk membuat sebuah grup musik, dengan mengajak teman dekat satu fakultas mereka yang bernama Saleh.

Formasi pertama grup musik White Shoes & The Couples Company diisi oleh Sari (vokal & violin), Rio (gitar rythm), serta Saleh (gitar melodi). Setelhanya, Sari dan Rio mengajak sepasang suami istri dari fakultas musik, Ricky untuk mengisi posisi bass dan cello, serta Mela pada posisi keyboard, piano dan viola. Terakhir, Ricky mengusulkan untuk merekrut kenalannya, John Navid yang juga dari fakultas musik menduduki posisi drummer.

KARIR
White Shoes & The Couples Company merilis debut albumnya pada tahun 2005 lewat label Aksara Records dan didistribusikan oleh Universal Music Indonesia. Selain itu White Shoes & The Couples Company juga turut mengisi album soundtrack film JANJI JONI dan BERBAGI SUAMI produksi Kalyana Shira Films.

Setelah sukses dengan album perdananya, White Shoes & The Couples Company memproduksi mini album (EP) yang diberi judul SKENARIO MASA MUDA yang juga dirilis oleh Aksara Records pada bulan September 2007.

Tak hanya berkiprah di Indonesia, White Shoes & The Couples Company juga menandatangani kontrak dengan Minty Fresh Records, sebuah label rekaman yang berasal dari Chicago, Amerika Serikat. Sebelumnya, di bulan Januari 2007, pihak Minty Fresh Records bertemu dengan Aksara Records, yang kemudian sepakat memberikan lisensi kepada Minty Fresh untuk merilis album pertama White Shoes & The Couples Company.

Pada bulan September 2007, Minty Fresh Records merilis album pertama White Shoes & The Couples Company di lima wilayah yaitu Amerika Serikat, Mexico, Kanada, Australia dan Jepang. Dalam album rilisan Minty Fresh ini, White Shoes & The Couples Company menambahkan dua bonus lagu yaitu Kapiten & Gadis Desa, dan Sabda Alam.

DISKOGRAFI
WHITE SHOES & THE COUPLES COMPANY (2005)
OST. JANJI JONI (2005)
RIOT (2006) - Compilation Of Thursday Riot
OST. BERBAGI SUAMI (2006)
MESIN WAKTU (2007) - Cover Version Compilation Album
SKENARIO MASA MUDA (2007) - EP
WHITE SHOES & THE COUPLES COMPANY (2007) - International release
OST. QUICKIE EXPRESS (2007)

GRIBS

Gribs










GRIBS telah menjelajahi panggung musik rock Indonesia sejak 2005, akhirnya Rezanov (vokal),Dion (gitar), Arief (bas) dan Rashta (drum) terjun langsung dengan album self titled-nya.Mereka mengajak kita untuk lebih menghargai karya kita sendiri. Berikut obrolan Leonardus Surya untuk Soundup.
Pengusung Rock yang seperti apa sih kalian?Rock yang seharusnya itu dimainkan, bukan Rock yang buat becandaan, jadi Rock yang bener-bener R-O-C-K!
Album pertama berisi 13 lagu, cukup banyak untuk sebuah band rock (baru). Gimana prosesnya?Tergantung compare-nya, kita dari 60 materi, jadi biasa aja. Pemilihan lagu kita rundingkan dengan manager dan produser untuk direkam 30 lagu, dan akhirnya 13 yang dimasukkan album.
Recording kalian lakukan dengan digital dan live, alasannya?Kita mau nemuin spirit yang kita gak dapet kalo pake metronome. Sebenernya lebih prefer ke pita, tapi belum dapet. Kita mau balikin konsep ‘70an, di mana kalo mau nge-band gak bisa setengah-setengah, dari awal sampe akhir satu kesatuan.
Keseluruhan materi album sepertinya bercerita tentang kegelisahan, ingin menceritakan apa?Balik ke proses penciptaan lirik, bisa dari masalah yang dimiliki atau dari sekitar penciptanya. Payung besarnya memang kegelisahan, seperti ‘Sinetron Indonesia’ kegelisahan pada salah satu program TV yang tidak mendidik. Lalu ada ‘Malam Frustasi’ tentang ingin mempertahankan
prinsip konservatif di era yang maju ini.
Hampir seluruh lagu tempo-nya kenceng, dan ada 1 lagu slow rock ‘Ketika’. Apa tujuannya?Untuk album pertama kita ingin nunjukin “kayak gini lho Rock itu”. Dari 60 materi ada yang slow juga, tapi untuk album pertama ini 13 lagu itu adalah yang terbaik dari kesepakatan kita.
Apa sih cerita dari lagu ‘Klaten’?Tentang road song yang dibuat Dion ketika di Klaten. Waktu proses pembuatannya dia ngrasain dapet ilham, sesuatu yang mistis dan ada aura tersendiri. Tapi lagu ini semangatnya adalah gimana kita jauh dari rumah.
Kalau diminta untuk bawain cover lagu musisi lain, siapa dan lagu apa? Loudness, ‘Crazy Nights’ sama ‘Let It Go’, bisanya cuma itu (hahaha). Tapi kita dah punya album nih, ngapain juga bawain lagu orang. Jadi kalau kita diundang untuk nonton kita bakal
datang, tapi kalau untuk main kita bawain lagu sendiri. Sorry nih, tapi kelemahan bangsa Indonesia tu lebih ngehargain karya orang lain, harusnya kita lebih ngehargain karya kita sendiri.
Kalau Reza sendiri, loe kayak Steven Tyler’nya Indonesia nih, gimana tuh?Gue kira loe bakal bilang gue the next Candil (hahaha). Tergantung referensi siapa yang gue idolain kayak Robert Plant, Bon Scott dan Steven Tyler tidak menutup kemungkinan. Tapi
gue ambil ilmunya aja dari mereka.
Udah berapa kopi penjualan album? Puas nggak? Dari laporan Agustus-September itu 200, yang sekarang kita belum dapat laporan lagi. Kita pasti puas karena udah ngelakuin yang terbaik dan kita udah ada bukti karya itu album kita sendiri.
Udah ada rencana album kedua? Temanya apa?Materi udah ada, tinggal dijadiin aja, benang merahnya masih Rock. Kita bakal lebih kritis tentang kehidupan sih tema besarnya.
ROCK menurut GRIBS?Rastha : ROCK adalah sebuah spirit
Dion : ROCK itu bersumber dari hati, mengalir ke tangan dan itu disebut pemain ROCK, mengalir ke otak dan itu disebut pemikiran ROCK
Reza : ROCK adalah pemberontakan
Arief : ROCK adalah sesuatu yang bisa memuaskan adrenalin kita.
Teks & Foto: Surya

The S.I.G.I.T.


Mari menyimak kisah Rektivianto Rekti Yoewono tentang hal yang mendorong dirinya untuk menamakan band-nya The S.I.G.I.T.: Awalnya itu, saya kalau lagi nggak ada kerjaan, kalau lagi di Internet suka ke Google, iseng nyari nama sendiri. "Rekti" kalau di luar apa ya?,tutur vokalis-gitaris berusia 25 tahun itu. Terus ngetik nama bapak saya, Sigit. Terus ternyata, Sigit.com itu Science Interest Group anjing, keren juga ya. Jadi gue cari kata-kata sendiri.

Cerita itu dapat mewakili sisi intelek sekaligus humoris yang terdapat pada The Super Insurgent Group of Intemperance Talent, kuartet asal Bandung yang menggabungkan tema lirik yang kontemplatif dengan musik rock & roll primitif, di mana Led Zeppelin, The Clash dan The Beatles menjadi pengaruh utama yang menyatukan selera keempat sahabat ini. Kami ter-influence lagu-lagu lama, tapi intinya kami memang suka ngerock, kata bassis Aditya Bagja Mulyana alias Adit, 25 tahun. “Bukan ngepop, karena kami bukan penyanyi yang baik [tertawa]!

The S.I.G.I.T. berasal dari pertemanan Rekti, Adit, gitaris R. Farri Icksan Wibisana alias Farri (23 tahun) dan drummer Donar Armando Ekana alias Acil (24 tahun).Sering main bareng, terus ada ritual liburan bareng-bareng berempat, kata Adit. Dalam salah satu perjalanan berempat ini, mereka menyaksikan penampilan band kakak Adit di Jakarta, lalu terdorong untuk membentuk sebuah band. Pas kami bentuk band, di Bandung lagi musim clubbing. Kami lagi eneg pada waktu itu, kata Acil.

Setelah sempat membawakan lagu-lagu The Stone Roses, The Seahorses dan The Charlatans di bawah nama The Cinnamons dan The You-Yous, akhirnya di tahun 2002 The S.I.G.I.T. mulai membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri. Walau mereka muncul di saat garage rock sedang bangkit lagi di dunia musik, The S.I.G.I.T. enggan terjebak dalam kategori itu. Pada musim garage rock kami dicap garage, itu sesuatu yang ingin kami hindari dari dulu, kata Rekti, yang bernyanyi dengan lengkingan yang mengingatkan pada Robert Plant atau Jack White. Mau disebut apapun alirannya, kami bukan aliran itu.

Apapun alirannya, yang pasti nama The S.I.G.I.T. pelan-pelan terangkat berkat show mereka yang dahsyat, serta E.P. The Super Insurgent Group of Intemperance Talent yang dirilis pada tahun 2004 melalui Spills Records. Lalu album perdana yang dinanti-nantikan tak kunjung muncul, sebelum akhirnya di akhir 2006 mereka merilis Visible Idea of Perfection melalui FFCUTS, bagian dari label independen terkemuka di Bandung, FFWD Records.

Waktu itu belum ada label yang mau ambil kami, terus kami berpikiran, Ya udah, kalau belum ada label kita nabung, jalan sendiri. Sekalian matangin materi, kami rekam sendiri. Pas lagi jalanin, datanglah tawaran dari FFWD, kata Adit tentang masa absen itu. Tawaran itu rupanya datang tepat pada waktunya, karena Rekti sempat merasa frustrasi karena tak ada perkembangan, yang dituangkan ke lagu No Hook. Saya pernah merasa kalau main band begini nggak ada gunanya. Pokoknya sebelum keluar album agak sedikit putus asa. ˜Kok nggak bikin album ya? Padahal udah manggung terus. Sedang capek aja, katanya. Tapi pada akhirnya, ya udahlah, saya bertahanlah.

Walau wabah garage rock telah berlalu, The S.I.G.I.T. tidak merasa ketinggalan kereta selama kami punya konsep yang kuat, menurut Acil. Setelah masanya lewat dan orang masih menunggu, di situ saya berharap kalau kami bisa memanfaatkan keadaan ini untuk membuktikan bahwa kami bukan terbawa arus garage, kata Rekti. Saya sendiri nggak yakin kalau 2004 kami (bisa) bikin album seperti yang sekarang ini.

Visible Idea of Perfection (yang judulnya diambil dari buku Ideals & Idols: Essays On Values in History and in Art karya E.H. Gombrich) berisi 12 lagu, termasuk beberapa lagu dari E.P. yang direkam ulang dan dimasukkan ke album karena masih bisa diperjuangkan, menurut Farri. Lirik lagu dibuat dalam bahasa Inggris karena saya terus terang dari kecil kebanyakan dengar lagu berbahasa Inggris. Emang jarang dengerin lagu bahasa Indonesia, kata Rekti, penulis sebagian besar lirik.

Hal-hal yang menjadi topik lirik dapat dibilang menarik. Ada sebuah tema besar yang dapat ditangkap, yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi sekitar. Live in New York bercerita tentang keinginan untuk hijrah ke tempat yang lebih menarik; New Generation menghujat lingkaran setan yang menghubungkan malnutrisi dengan kebodohan; dan empat lagu Let It Go,Save Me,Clove Doper dan Satan State“ adalah komentar terhadap sifat orang-orang di sekeliling saya, menurut Rekti, yang menyebut politikus, dosen, tokoh agama dan orang Indonesia pada umumnya. Kalau ada orang yang mengatakan ˜Saya orang suci, Anda tidak suci, saya membantah semua orang yang mengatakan bahwa ˜Saya superior dalam bidang tertentu. Bagi saya, itu adalah sesuatu yang tidak menarik dan tidak penting.

Tak semua lagu mengandung tema seberat itu. Soul Sister bercerita tentang teman SMP Rekti dan Adit yang memanfaatkan jasa seorang waria; Nowhere End dan All the Time malah bercerita tentang cinta, walau dengan sudut pandang yang tak biasa. Saya pernah mendapat e-mail yang membahas itu, dan itu bikin semangat untuk belajar lebih banyak lagi tentang bagaimana menulis lirik, daripada mendengar pujian yang lagu lo ngerock banget! kata Rekti. Senang sih, cuma itu saya anggap ya udahlah. Bisa berbahaya untuk diri sendiri. Saya berharap kalau ada yang mendengarkan dan memperhatikan lirik, apa yang saya maksud bisa sampai, dan kalau menyampaikan kritik sesuai dengan apa konteksnya.

Sumber : http://www.rollingstone.co.id/artist_detail/65/t/The-Sigit/0

Musik Rock INDONESIA

BonnyMusik rock di Indonesia mulai menjejak pada tahun 1970-an. Dan kemunculannya pun tidak bisa dilepaskan dari para pionir mulai dari Giant Step, God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Super Kid, Terncem, AKA/SAS, Bentoel, hingga Rawe Rontek. 

Tapi sebelum tahun 1970-an, sebenarnya sudah ada sebuah band bernama The Rollies, yakni grup band beraliran jazz rock yang dibentuk di Bandung dan menjadi kebanggaan Kota Kembang pada tahun 1967, bahkan sempat populer hingga awal 1980-an. Para personelnya terdiri dari Bangun Sugito (vokal), Uce F. Tekol (bas), Jimmy Manoppo (drum), Benny Likumahuwa (trombon), Delly Joko Arifin (keyboards/vokal), Bonny Nurdaya (gitar), dan Teungku Zulian Iskandar (saksofon). 


The Rollies adalah kelompok rock tertua Indonesia dan termasuk grup yang paling sering mengalami bongkar pasang pemain. Dalam perjalanannya, grup yang telah merintis ke dunia rekaman pada tahun 1967 ini sempat menjadi grup papan atas yang disegani penonton Bandung, Jakarta, Medan, dan Malang. Banyak yang menganggap The Rollies sebagai peletak dasar band rock Indonesia yang telah memberikan kontribusi bagi musik Indonesia masa kini.


Giant Step
Nama Giant Step memang tidak sefenomenal dan melegenda seperti halnya The Rollies atau God Bless. Meski demikian, grup era 1970-an asal Kota Bandung ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya band rock Indonesia pada masa itu yang paling tidak suka membawakan lagu-lagu orang lain atau grup lain.

Dengan kata lain, Giant Step merupakan band rock yang berani "melawan arus" pada masa itu. Ketika band-band rock pribumi lain gemar membawakan lagu-lagu karya The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, atau Grand Funk Railroad, Giant Step justru lebih bangga membawakan lagu-lagu karya mereka sendiri.


Mereka juga termasuk band rock yang lumayan produktif. Setidaknya ada tujuh album yang dihasilkan dalam kurun waktu 1975-1985. Tentu bukan hanya itu, Giant Step pun termasuk dari sedikit band rock pribumi yang berkiblat pada jenis musik progresif  yang pada masa itu lebih sering disebut sebagai art rock, seperti yang diusung grup-grup Inggris macam King Crimson, Jethro Tull, Pink Floyd, Gentle Giant, Yes, Genesis, dan ELP (Emerson, Lake, and Palmer). Benny Soebardja dan Albert Warnerin adalah dua orang yang membidani kelahiran Giant Step pada awal 1970-an di Bandung, kota yang sering dijuluki sebagai gudangnya para seniman musik yang kreatif.


God Bless
Setelah The Rollies dan Giant Step, God Bless gantian menyandang predikat sebagai grup band rock papan atas di Indonesia pada masa itu. Bahkan bisa dibilang, God Bless adalah raja panggungnya musik Indonesia. God Bless mendeklarasikan diri sebagai grup band rock pada 5 Mei 1973, dengan formasi awal Achmad Albar (vokal), Fuad Hassan (drum), Ludwig Lemans (gitar), Donny Fattah (bas), dan Jockie Soeryoprayogo (keyboards).  

Di antara beberapa band rock yang hadir di masa itu, seperti Giant Step dan The Rollies, God Bless bisa dibilang hampir tak tertandingi. Kendati kerap mengusung repertoar asing milik Deep Purple, ELP hingga Genesis, namun aksi panggung serta skill masing-masing personelnya boleh dibilang di atas rata-rata. Tapi karena terlalu sering menyanyikan lagu asing, gaya musik para personel God Bless sedikit banyak terpengaruh. Hal tersebut tergambar jelas dalam garapan musik album perdana mereka, “Huma di Atas Bukit”, yang cukup banyak terpengaruh sound Genesis. 


Selain tidak memiliki gaya bermusik yang solid, keanggotaan God Bless juga bisa dibilang kurang solid. Sebab, dalam perjalanannya grup ini terhitung sangat sering gonta-ganti personel. Dari grup ini, nama Ian Antono mulai menarik perhatian dan menjadi gitaris pertama yang berkibar di jalur rock Indonesia.


Grup-Grup Lain
Sebenarnya cukup banyak grup band rock Indonesia yang eksis di tahun 1970-an. Tapi, lagu-lagu yang dimainkan di era itu kebanyakan bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri, misalnya lagu milik Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif itu kemudian melahirkan beberapa band Indonesia yang namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). 

Lalu, sejak awal tahun 1980-an, musik rock agak sedikit “terlupakan” lantaran booming-nya musik thrash metal di kalangan anak-anak muda, bahkan di seluruh dunia. Sejak saat itu, mulailah bermunculan warna-warna baru dalam musik rock dengan sound yang lebih garang, speed menonjol, lengkingan vokal yang tinggi, dan distorsi gitar yang lebih tebal, seiring dengan majunya perangkat efek gitar dan teknologi sound system-nya. 


Pada Era 1980-an hingga 1990-an akhirnya muncul mazhab-mazhab musik heavy metal, hard rock, dan speed metal. Penampilan-penampilan musisi pada era ini tergolong "gila". Bahkan para fans-nya juga membuat geng-geng guna mendukung grup band-nya masing-masing, dan ini menjadi cikal bakal seringnya tawuran di saat live music. Pada era ini pula mulai ada fans yang melakukan head banger alias mengibaskan rambut yang gondrong atau menggoyang-goyang kepala sambil mengikuti beat lagu, disertai salam metal tiga jari (yang kemudian salam ini dipakai oleh salah satu partai di Indonesia).


Meski band-band rock di tahun 1980-an sedikit terlindas oleh roda musik heavy metal, tidak demikian halnya dengan musisi rock solo. Sebab, pada tahun 1985, muncul nama Nicky Astria dengan albumnya, “Jarum Neraka”, yang digarap bersama Ian Antono. Album itu ternyata laris di pasaran hingga terjual di atas 250 ribu kaset. Album “Jarum Neraka” itu disebut-sebut sebagai album rock Indonesia pertama yang mampu menyaingi album lagu pop dalam mendobrak angka penjualannya. BASF Awards menganugerahi album ini sebagai album rock terlaris di tahun yang sama.


Roxx, Sebuah Kegairahan Baru
Pada tahun 1980-an juga di Indonesia muncul sebuah kegairahan baru dalam musik rock. Sebuah grup band bernama Roxx dianggap sebagai icon kegairahan baru tadi. Roxx adalah grup cadas era 80-an yang pernah menjadi fenomen pada masanya. Mereka pun dianggap sebagai grup yang paling beruntung karena dengan mudah bisa melakukan rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Kemudahan itu bisa mereka raih setelah menjadi salah satu finalis “Festival Rock Se-Indonesia ke-V”. Bagi Roxx, mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk pada saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. 

Saat itu, stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock atau metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya, dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Sebab, mereka punya program bernama “Rock N’ Rhythm” yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. 


Pada era 1980-an pula para pencinta musik rock mencicipi masa-masa kejayaan di seluruh Indonesia. Tetapi kejayaan itu tidak bertahan lama lantaran para fans masing-masing band yang memiliki geng-geng-nya sendiri-sendiri mulai bersikap anarkis dan mau menang sendiri. Mereka ingin diakui sebagai geng yang terkuat, terbesar, dan anggotanya terbanyak. Sejak saat itu mulailah setiap pentas musik rock  diwarnai dengan tawuran, kekacauan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. 


Musik Independen
Memasuki era 1990-an, muncul gerakan baru dalam industri musik Indonesia yang independen. Gerakan ini muncul karena begitu banyaknya artis dan grup yang tak berhasil menembus perusahaan rekaman besar atau major label. Gerakan independen ini muncul juga karena para pemusik tak rela kreativitasnya diutak-atik dan didikte oleh perusahaan-perusahaan rekaman yang besar.

Gerakan independen ini digagas oleh kelompok rock asal Bandung, PAS Band, yang bergerilya memasarkan album mereka sendiri. Ternyata, usaha PAS Band berbuah sukses.
 Gerakan independen ini pun tak hanya berhenti di situ, malah terus merambah ke mana-mana. Beberapa grup musik independen ini malah melakukan terobosan pasar secara internasional, seperti yang telah dilakukan oleh kelompok Tengkorak, Discus, dan Mocca. 

Begitu riuh dan dinamis adegan musik Indonesia saat ini. Semakin yakinlah kita bahwa musik Indonesia masih tetap bernapas, masih tetap menggeliat walaupun didera pelbagai kendala. 
 

The Beatles Name

Dalam sejarah industri musik pop dunia, The Beatles dikenal sebagai band paling sukses yang pernah ada. Malah kesuksesannya nggak cuma di urusan musik saja, tapi juga mempengaruhi segala bidang. Disaat-saat akhir karir The Beatles pada tahun 1970, John Lennon pernah bilang kalau bandnya itu punya nama yang bisa menjadikan segala-galanya jadi besar. Kata-kata ini bukan sekedar bualan saja. Pasalnya komentar ini berdasarkan pengalamannya selama 7 tahun berkarir dengan The Beatles. Pada masa-masa itu, apapun yang berbau nama The Beatles pasti bakal jadi besar. Album, Singel, dan konser mereka sudah pasti mengeruk keuntungan besar. Berbagai jenis memorabilia (kenang-kenangan) dan merchandise selalu selalu jadi rebutan. Sampai berita soal band personilnya, sekecil apapun, jadi andalan buat menaikkan oplah media.
Ternyata ucapan salah satu pentolan band asal Liverpool, Inggris, itu masih tetap berlaku hingga 30 tahun berikutnya. Buktinya memorabilia The Beatles masih tetap jadi incaran. Album-album baru yang dirilis – meski berupa kompilasi – tetap saja laku di pasaran. Bahkan cerita soal band dan para personilnya terus digulirkan media massa demi meraih keuntungan.
Cikal bakal The Beatles adalah nama band sekolah bentukan John Lennon. Butuh bandnya jadi legendaris, beberapa kali bandnya mengalami perubahan nama.
* The Black Jacks (Maret 1957)
* The Quarrymen (Maret 1957 – Oktober 1959)
* Johnny and the Moondogs (Oktober – November 1959)
* The Nerk Twins (23 – 24 April 1960)
* The Beatals (awal tahun 1960)
* The Silver Beetles (10 Mei – awal Juni 1960)
* The Silver Beats (14 Mei 1960)
* The Beatles (awal sampai pertengahan Juni 1960)
* The Silver Beetles (pertengahan Juni – awal Juli 1960)
* The Silver Beatles (awal Juli – awal Agustus 1960)
* The Beatles (16 Agustus 1960 – bubar)
Nama The Beatles berasal dari ide John Lennon. Nama ini sebenarnya nggak punya makna yang spesifik. Malah menurut yang ngasih ide, nama band ini nggak lebih dari sekedar becandaan saja. Pasalnya didapat dari hasil permainan kata-kata, yaitu nama serangga (beetle atau kumbang) digabung dengan beat (gaya musik yang dimainkan). The Beatles tenar lebih dulu di Jerman daripada di Inggris, lantaran karir mereka diawali dengan bermain di klub-klub di Jerman. Sehingga sewaktu The Beatles mulai bermain di klub-klub di kota Liverpool, banyak yang menyangka kalau mereka adalah orang-orang Jerman. Apalagi poster konsernya bertuliskan : The Beatles, Direct from Hamburg. The Beatles mulai bermain di klub-klub di Jerman, atau tepatnya di kota Hamburg, pada bulan Agustus 1960. Sukses cukup besar diraih di Jerman, terbukti dari selalu penuhnya klub-klub tiap kali mereka tampil. Sukses The Beatles bikin iri klub-klub yang awalnya menolak menampilkan mereka dan berusaha menjegal langkah The Beatles. Entah bagaimana caranya, mereka berhasil membuat working permit The Beatles dicabut secara mendadak dan seluruh personil dideportasi keluar Jerman.
Pil penambah tenaga atau doping, mulai digunakan para personil The Beatles saat main di klub-klub di Jerman. Mereka terpaksa menggunakan obat-obatan supaya selalu fit tiap kali manggung, apalagi mereka harus tampil 6 hari seminggu selama 8 jam. Belakangan kebiasaan menggunakan doping membuat mereka terlibat dalam penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya.
Pada awal tahun ’60-an, The Beatles adalah satu-satunya band di Inggris yang tampil dengan gaya urakan dan sembarangan. Ditambah lagi permainan musik yang lebih keras daripada musisi lain. The Beatles terlihat aneh dengan penampilan ini lantaran gaya yang jadi ciri rock ‘n roll itu sudah ditinggalkan musisi Inggris dan mulai tampil rapi. The Beatles nggak tahu adanya perubahan ini, pasalnya sebelum itu mereka lagi sibuk nge-band di Jerman.
Setiap kali selesai manggung pada masa-masa tahun 1961 (era Cavern), para personil The Beatles selalu terlibat dalam perselisihan. Bukan berselisih soal pembagian hasil manggung, tapi karena rebutan pengen jadi supir mobil. Nggak heran, pasalnya di dalam mobil yang sempit mereka harus berdesak-desakan pula dengan instrumen musik. Jadinya buat mendapatkan tempat yang paling enak didalam mobil menurut mereka adalah dengan menjadi supir.