Mari
menyimak kisah Rektivianto Rekti Yoewono tentang hal yang mendorong
dirinya untuk menamakan band-nya The S.I.G.I.T.: Awalnya itu, saya kalau
lagi nggak ada kerjaan, kalau lagi di Internet suka ke Google, iseng
nyari nama sendiri. "Rekti" kalau di luar apa ya?,tutur vokalis-gitaris
berusia 25 tahun itu. Terus ngetik nama bapak saya, Sigit. Terus
ternyata, Sigit.com itu Science Interest Group anjing, keren juga ya.
Jadi gue cari kata-kata sendiri.
Cerita itu dapat mewakili sisi
intelek sekaligus humoris yang terdapat pada The Super Insurgent Group
of Intemperance Talent, kuartet asal Bandung yang menggabungkan tema
lirik yang kontemplatif dengan musik rock & roll primitif, di mana
Led Zeppelin, The Clash dan The Beatles menjadi pengaruh utama yang
menyatukan selera keempat sahabat ini. Kami ter-influence lagu-lagu
lama, tapi intinya kami memang suka ngerock, kata bassis Aditya Bagja
Mulyana alias Adit, 25 tahun. “Bukan ngepop, karena kami bukan
penyanyi yang baik [tertawa]!
The S.I.G.I.T. berasal dari
pertemanan Rekti, Adit, gitaris R. Farri Icksan Wibisana alias Farri (23
tahun) dan drummer Donar Armando Ekana alias Acil (24 tahun).Sering
main bareng, terus ada ritual liburan bareng-bareng berempat, kata
Adit. Dalam salah satu perjalanan berempat ini, mereka menyaksikan
penampilan band kakak Adit di Jakarta, lalu terdorong untuk membentuk
sebuah band. Pas kami bentuk band, di Bandung lagi musim clubbing. Kami
lagi eneg pada waktu itu, kata Acil.
Setelah sempat membawakan
lagu-lagu The Stone Roses, The Seahorses dan The Charlatans di bawah
nama The Cinnamons dan The You-Yous, akhirnya di tahun 2002 The
S.I.G.I.T. mulai membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri. Walau mereka
muncul di saat garage rock sedang bangkit lagi di dunia musik, The
S.I.G.I.T. enggan terjebak dalam kategori itu. Pada musim garage rock
kami dicap garage, itu sesuatu yang ingin kami hindari dari dulu, kata
Rekti, yang bernyanyi dengan lengkingan yang mengingatkan pada Robert
Plant atau Jack White. Mau disebut apapun alirannya, kami bukan aliran
itu.
Apapun alirannya, yang pasti nama The S.I.G.I.T.
pelan-pelan terangkat berkat show mereka yang dahsyat, serta E.P. The
Super Insurgent Group of Intemperance Talent yang dirilis pada tahun
2004 melalui Spills Records. Lalu album perdana yang dinanti-nantikan
tak kunjung muncul, sebelum akhirnya di akhir 2006 mereka merilis
Visible Idea of Perfection melalui FFCUTS, bagian dari label independen
terkemuka di Bandung, FFWD Records.
Waktu itu belum ada label
yang mau ambil kami, terus kami berpikiran, Ya udah, kalau belum ada
label kita nabung, jalan sendiri. Sekalian matangin materi, kami rekam
sendiri. Pas lagi jalanin, datanglah tawaran dari FFWD, kata Adit
tentang masa absen itu. Tawaran itu rupanya datang tepat pada waktunya,
karena Rekti sempat merasa frustrasi karena tak ada perkembangan, yang
dituangkan ke lagu No Hook. Saya pernah merasa kalau main band begini
nggak ada gunanya. Pokoknya sebelum keluar album agak sedikit putus asa.
˜Kok nggak bikin album ya? Padahal udah manggung terus. Sedang capek
aja, katanya. Tapi pada akhirnya, ya udahlah, saya bertahanlah.
Walau
wabah garage rock telah berlalu, The S.I.G.I.T. tidak merasa
ketinggalan kereta selama kami punya konsep yang kuat, menurut Acil.
Setelah masanya lewat dan orang masih menunggu, di situ saya berharap
kalau kami bisa memanfaatkan keadaan ini untuk membuktikan bahwa kami
bukan terbawa arus garage, kata Rekti. Saya sendiri nggak yakin kalau
2004 kami (bisa) bikin album seperti yang sekarang ini.
Visible
Idea of Perfection (yang judulnya diambil dari buku Ideals & Idols:
Essays On Values in History and in Art karya E.H. Gombrich) berisi 12
lagu, termasuk beberapa lagu dari E.P. yang direkam ulang dan dimasukkan
ke album karena masih bisa diperjuangkan, menurut Farri. Lirik lagu
dibuat dalam bahasa Inggris karena saya terus terang dari kecil
kebanyakan dengar lagu berbahasa Inggris. Emang jarang dengerin lagu
bahasa Indonesia, kata Rekti, penulis sebagian besar lirik.
Hal-hal
yang menjadi topik lirik dapat dibilang menarik. Ada sebuah tema besar
yang dapat ditangkap, yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi sekitar. Live
in New York bercerita tentang keinginan untuk hijrah ke tempat yang
lebih menarik; New Generation menghujat lingkaran setan yang
menghubungkan malnutrisi dengan kebodohan; dan empat lagu Let It Go,Save
Me,Clove Doper dan Satan State“ adalah komentar terhadap sifat
orang-orang di sekeliling saya, menurut Rekti, yang menyebut politikus,
dosen, tokoh agama dan orang Indonesia pada umumnya. Kalau ada orang
yang mengatakan ˜Saya orang suci, Anda tidak suci, saya membantah semua
orang yang mengatakan bahwa ˜Saya superior dalam bidang tertentu. Bagi
saya, itu adalah sesuatu yang tidak menarik dan tidak penting.
Tak
semua lagu mengandung tema seberat itu. Soul Sister bercerita tentang
teman SMP Rekti dan Adit yang memanfaatkan jasa seorang waria; Nowhere
End dan All the Time malah bercerita tentang cinta, walau dengan sudut
pandang yang tak biasa. Saya pernah mendapat e-mail yang membahas itu,
dan itu bikin semangat untuk belajar lebih banyak lagi tentang bagaimana
menulis lirik, daripada mendengar pujian yang lagu lo ngerock banget!
kata Rekti. Senang sih, cuma itu saya anggap ya udahlah. Bisa berbahaya
untuk diri sendiri. Saya berharap kalau ada yang mendengarkan dan
memperhatikan lirik, apa yang saya maksud bisa sampai, dan kalau
menyampaikan kritik sesuai dengan apa konteksnya.
Sumber : http://www.rollingstone.co.id/artist_detail/65/t/The-Sigit/0